Entri Populer

Selasa, 16 November 2010

Tokoh Sejarah Kota Medan : Tjong A Fie

Tjong A Fie (1860-1921) adalah seorang pengusaha, bankir dan kapitan yang berasal dari Tiongkok dan sukses membangun bisnis besar dalam bidang perkebunan di Sumatera, Indonesia. Tjong A Fie membangun bisnis besar yang memiliki lebih dari 10.000 orang karyawan. Karena kesuksesannya tersebut, Tjong A Fie dekat dengan para kaum terpandang di Medan, di antaranya Sultan Deli, Makmun Al Rasjid serta pejabat-pejabat kolonial Belanda. Pada tahun 1911, Tjong A Fie diangkat sebagai Kapitan Cina (Majoor der Chineezen) untuk memimpin komunitas Tionghoa di Medan, menggantikan kakaknya, Tjong Yong Hian. Sebagai pemimpin masyarakat Tionghoa, Tjong A Fie sangat dihormati dan disegani, karena ia menguasai bidang ekonomi dan politik. Kerajaan bisnisnya meliputi perkebunan, pabrik minyak kelapa sawit, pabrik gula, bank dan perusahaan kereta api.

                                                                                     
Tjong A Fie dilahirkan dengan nama Tjong Fung Nam (orang Hakka), di Sungkow, Meixian, Guangdong, (Tiongkok) pada tahun 1860.
Ia berasal dari keluarga yang sederhana. Bersama kakaknya Tjong Yong Hian (1850-1911), Tjong A Fie meninggalkan bangku sekolah dan membantu menjaga toko ayahnya. Walaupun hanya mendapatkan pendidikan seadanya, tetapi Tjong A Fie sangat cerdas dan menguasai cara-cara berdagang sehingga usaha keluarganya cukup sukses.
Tjong A Fie memutuskan untuk merantau ke Hindia Belanda (Indonesia) untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Pada tahun 1875 Tjong A Fie pergi ke Medan (Sumatera Utara) untuk mengadu nasib. Saat itu ia baru berusia 18 tahun. Dengan berbekal sedikit uang, ia menyusul kakaknya Tjong Yong Hian yang sudah terlebih dahulu datang ke Medan dan tinggal selama 5 tahun. Pada saat itu kakaknya sudah menjadi kapitan (pemimpin) Cina di Medan.Tjong A Fie bekerja di toko milik teman kakaknya yang bernama Tjong Sui Fo. Di toko tersebut, Tjong bekerja dari memegang buku, melayani pelanggan, menagih utang serta tugas-tugas lainnya. Ia dikenal pandal bergaul, tidak hanya dengan orang Tionghoa, namun juga dengan warga Melayu, Arab, India, dan orang Belanda. Ia mulai belajar berbicara dengan bahasa Melayu yang menjadi bahasa perantara masyarakat di tanah Deli.
Tjong A Fie tumbuh menjadi sosok yang tangguh, menjauhi candu, judi, mabuk-mabukan dan pelacuran. Ia menjadi teladan dan menampilkan watak kepemimpinan yang sangat menonjol. Ia sering menjadi penengah jika terjadi cekcok antara orang Tionghoa dengan etnis lain. Di daerah perkebunan milik Belanda sering terjadi keributan di kalangan buruh yang menimbulkan kekacauan. Karena kemampuannya, Tjong A Fie sering diminta Belanda untuk membantu mengatasi masalah-masalah tersebut. Ia lalu diangkat menjadi Letnan Tionghoa dan pindah ke kota Medan. Karena prestasinya yang luar biasa, dalam waktu singkat Tjong A Fie naik pangkat menjadi Kapitan pada tahun 1911, untuk menggantikan kakaknya yang telah wafat. Dengan rekomendasi Sultan Deli, Tjong A Fie menjadi anggota gemeenteraad (dewan kota) dan cultuurraad (dewan kebudayaan) selain menjabat sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Tiongkok.
Di tanah Deli, Tjong A Fie menjalin hubungan baik dengan Sultan Deli, Makmoen Al Rasjid Perkasa Alamsyah dan Tuanku Raja Muda sehingga membuka jalan baginya untuk menjalankan usaha.[4] Sultan memberinya konsesi penyediaan atap daun nipah untuk keperluan perkebunan tembakau untuk pembuatan bangsal.


Tjong A Fie dikenal menjadi orang Tionghoa pertama yang memiliki perkebunan yang sangat luas. Ia mengembangkan usaha perkebunan tembakau di Deli, teh di daerah Bandar Baru, dan Si Bulan, serta perkebunan kelapa. Di Sumatera Barat, ia menanamkan modalnya di bidang pertambangan di Sawah Lunto, Bukit Tinggi. Perkebunan yang dimilikinya mempekerjakan lebih dari 10.000 orang tenaga kerja dan luas kebunnya mengalahkan luas perkebunan milik Deli Matschapaij yang dirintis oleh Jacobus Nienhuys. Bahkan, ketika itu pemerintah Belanda memberikan 17 kebun kepadanya untuk dikelola.
Bersama kakaknya Tjong Yong Hian, Tjong A Fie bekerjasama dengan Chang Pi Shih, paman sekaligus konsul Tiongkok di Singapura mendirikan perusahaan kereta api The Chow-Chow & Swatow Railyway Co.Ltd. di Tiongkok Selatan. Karena jasanya tersebut mereka berkesempatan bertemu muka dengan Ibu Suri Cixi di Beijing.
Dalam menjalankan bisnisnya, Tjong A Fie selalu mengamalkan 3 hal yakni, jujur, setia dan bersatu. Ia selau berprinsip "di mana langit dijunjung di situ bumi dipijak". Ia pun membagikan lima persen keuntungannya kepada para pekerjanya.


Tjong A Fie tutup usia pada tanggal 4 Februari 1921 karena menderita apopleksia atau pendarahan otak. Seluruh masyarakat kota Medan turut berduka, ribuan orang pelayat datang dari kota Medan dan Sumatera Timur, Aceh, Padang, Penang, Malaya, Singapura dan Pulau Jawa. Prosesi Pemakaman Tjong A Fie berlangsung dengan megah sesuai dengan tradisi dan jabatannya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tjong_A_Fie)

Senin, 15 November 2010

Medan....Kotaku, Kotamu serta Kota kita semua....

Hi...selamat datang di blog saya yang baru lahir....
Sengaja Blog ini saya buat khusus untuk mempromosikan Kota Medan ibukota Propinsi Sumatera Utara karena disinilah saya lahir, bertumbuh dan berkembang sehingga tanpa dipungkiri saya sangat mencintai Kota ini walau apapun yang terjadi...
Medan sebagai Kota terbesar ketiga di Indonesia merupakan kota yang sangat Multietnis dan dinamis namun warganya hidup dengan sangat rukun dan damai.
Sejarah awal Kota Medan yang pada mulanya merupakan sebuah perkampungan yang bernama perkampungan Medan dibuka oleh Guru Patimpus, lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.
Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah di antara kedua sungai tersebut.
Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa di samping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei.
Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.
Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan di sana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.
Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama "Medan Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung "Medan Putri" yang merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.
Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan isteri Guru Patimpus yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya yang pertama seorang laki-laki dan dinamai si Kolok. Mata pencarian orang di Kampung Medan yang mereka namai dengan si Sepuluh dua Kuta adalah bertani menanam lada. Tidak lama kemudian lahirlah anak kedua Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik.
Pada zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong orang yang berfikiran maju. Hal ini terbukti dengan menyuruh anaknya berguru (menuntut ilmu) membaca Al-Qur'an kepada Datuk Kota Bangun dan kemudian memperdalam tentang agama Islam ke Aceh.
Keterangan yang menguatkan bahwa adanya Kampung Medan ini adalah keterangan H. Muhammad Said yang mengutip melalui buku Deli: In Woord en Beeld ditulis oleh N. ten Cate. Keterangan tersebut mengatakan bahwa dahulu kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan sisanya masih ada terdiri dari dinding dua lapis berbentuk bundaran yang terdapat dipertemuan antara dua sungai yakni Sungai Deli dan sungai Babura. Rumah Administrateur terletak di seberang sungai dari kampung Medan. Kalau kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini adalah di Wisma Benteng sekarang dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX Tembakau Deli yang sekarang ini.
Namun Medan sekarang bukan lagi sebuah kampung namun Kota Besar yang dihuni oleh lebih kurang 2 juta penduduknya. Oleh karena kecintaan saya terhadap kota ini maka blog ini saya persembahkan untuk Kota Medan, Kotaku, Kotamu serta Kota kita semua.

Semoga dengan adanya blog ini bisa menambah khasanah tentang pengetahuan kita tentang Kota Medan yang merupakan salah satu Kota yang ada di Republik Indonesia ini.